Minggu, 23 September 2012

Proses Pengolahan Limbah Cair



Pengolahan limbah bertujuan mempercepat proses alami pada suatu unit pengolah limbah sehingga kondisi dapat terkontrol. Proses ini  brfungsi untuk mengurangi atau menghilangkan bahan-bahan polutan dalam limbah. Sesuai dengan karakteristiknya, pengolahan limbah dapat diklasifikasikan sebagai pengolahan secara fisik, kimia dan biologi, sedangkan unit pengolahannya juga dikelompokan sebagai unit pengolahan fisika, kimia dan biologi. Pada umumnya limbah mempunyai karakteristik yang merupakan gabungan antara ketiga karakteristik tersebut, sehingga pengolahannya juga melibatkan gabungan antara cara-cara pengolahan fisika, kimia dan biologi.
Ditinjau dari tingkatannya, pengolahan limbah dapat dikelompokan menjadi primer, sekunder dan tersier. Pengolahan primer (Primary Treatment) ditujukan untuk menghilangkan bahan – bahan yang tampak, yang umumnya termasuk karakteristik fisika. Tahap ini juga diperlukan   sebagai tahap persiapan untuk menuju pada pengolahan tahap berikutnya. Unit pengolah limbah secara fisika, misalnya screaning, grift, removal, sedimentasi, pemisah minyak/lemak.
Pengolahan sekunder (Secondary treatment) pada umumnya ditujukan untuk menghilangkan bahan – bahan organik terlarut. Unit pengolah limbah yang dipakai pada tahap ini adalah yang berdasarkan  proses biologi, misalnya kolam lumpur aktif (Activated sludge), trickling filter, kolam oksidasi (Oxidation pond).

Pengolahan tersier (Tertiary / Advanced Treatment) ditujukan untuk menghilangkan bahan yang sifatnya spesifik untuk limbah tertentu. Unit pengolah yang dipakai pada tahap ini bekerja secara fisika, kimia, dan biologi, misalnya ion exchange, desinfeksi (klorinasi) reverse osmosis, dan nitrifikasi.
Pada kenyataannya pengolahan limbah tidak selalu melibatkan ketiga tahapan proses tersebut, keadaan mana akan tergantung pada beberapa hal seperti karakteristik limbah, sifat akhir kualitas effluent (sesuai dengan baku mutu yang ditetapkan), sistem pembuangan akhir (tanah, sungai dan lain – lain), pemanfaatan kembali.
 

Beberapa unit fisika dan fungsinya dalam pengolahan limbah yang biasa dipergunakan, dapat dilihat sebagai berikut :
1
Screening
: Memisahkan kotoran / padatan dengan ukuran besar
2
Communication
: Pemecahan padatan berukuran besar untuk mendapatkan ukuran yang           uniform.

3
Ekualisasi
: Ekualisasi aliran dan beban BOD
4
Pencampuran
: Pencampuran bahan – bahan kimia dan gas – gas dengan limbah,  mempertahankan padatan selalu dalam bentuk suspensi.
5
Flokulasi
: Pembentukan gumpalan padatan (dengan menambahkan bahan kimia ) sehingga padatan mudah dipisahkan
6
Sedimentasi
: Pemisahan padatan yang dapat terendapkan dan memperketat sludge
7
Flotasi
: Pemisahan padatan yang berukuran sangat kecil dan memperketat biological sludge
8
Filtrasi
: Pemisahan padatan yang berukuran kecil setelah proses biologi atau kimia
9
Microscreening
: Sama seperti filtrasi, untuk bahan yang ukurannya lebih kecil.
(Sumber : Syamsiah.S, 1995)

Kegiatan di atas dalam prakteknya tidak semua dipergunakan karena disesuaikan dengan kebutuhannya. Secara garis besar, kerja alat dapat dijelaskan sebagai berikut.
  1. Screening – Dapat berupa paraller bars, wire mesh atau perforated plates. Lubang dapat berbentuk bundar atau persegi dengan ukuran yang bervariasi. Screening dapat dioperasikan secara manual maupun mekanis.
  2. Ekualisasi.-Digunakan untuk menghindari terjadinya masalah – masalah operasi pada downstream karena adanya variasi / fluktuasi aliran. Hal ini pada umumnya dilakukan dengan menampung limbah dalam suatu bak ekualisasi sebelum dimasukan ke unit pengolah limbah selanjutnya.
  3. Sedimentasi – Adalah pemisahan partikel-partikel yang lebih berat dari air, dengan prinsip gravitasi. Sedimentasi merupakan satu unit yang banyak dipakai pada pengolahan limbah cair. Tujuan utama dari penggunaan unit ini adalah untuk menghasilkan cairan clarified dan juga mendapatkan konsentrasi padatan yang mudah dikelola.
  4. Flotasi – Digunakan untuk memisahkan partikel padatan /cairan dari fase cairan. Pemisahan dilakukan dengan cara mengalirkan gas (udara) ke dalam cairan. Gelembung – gelembung gas akan berikatan dengan partikel yang ingin dipisahkan sehingga naik ke  permukaan cairan. Partikel  yang terkumpul dalam dipermukaan kemudian dapat dengan mudah dipisahkan. Prinsip ini dapat dipakai  untuk partikel yang mempunyai densitas lebih tinggi maupun lebih rendah dari pada densitas air.
  5. Bak Septik – Pada dasarnya kerja bak septik sama dengan prinsip kerja   sedimentasi. Perbedaannya adalah bahwa pada bak septik, selain proses  fisika terjadi juga proses biologi secara an-aerob.



Pengelolaan Limbah Bahan Beracun Dan Berbahaya
Oleh :
Frequencia sukmana firdauz
Pengolahan limbah B3 ( bahan beracun dan berbahaya) ditetapkan berdasakan
Peraturan pemerintah (PP) No. 19 tahun 1994 yang kemudian diperbaharui dengan
PP No. 12 tahun  1995 dan diperbaharui kembali dengan PP No. 18 tahun 1999 pada tanggal 27 februari 1999
Dan kemuadian dikuatkan melalui peraturan pemerintah no 74 tahun 2001 pada tanggal 26 november 2001 tentang pengelolaaan limbah B3
Berdasarkan PP No. 18 tahun 1999, yang dimaksutkan dengan limbah B3 adalah sisa suatu usaha dan atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan atau beracun karena sifat dan atau konsentrasinya dan atau jumlahnya, baik secar alangsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan atau merusak lingkungan hidup dan atau membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta mahluk hidup lain.
Jogjakarta sebagai salah satu kota besar yang ada diindonesia, sudah barang tentu pasti memiliki berbagai permasalahan dan probelematika yang ada, salah satunya adalah terkait pengolahan limbang bahan beracun dan berbahaya (B3), bahkan menurut salah satu media cetak yang ada dijogjakarta disebutkan bahwa, Jogjakarta menghasilkan 4 ton limbah bahan beracun dan berbahaya perharinya. Dan dengan kata lain dalam sebulan saja, Jogjakarta menghasilkan 120an ton limbah bahan beracun dan berbahaya. Dan jumlah ini akan terus bertambah seiriing dengan semakin bertambahnya perusahan perusahaan baik itu rumaahn ataupun perusahaan bersekala besar yang menghasilkan limbah B3.
Menurut kepala badan lingkungan hidup (BLH) DIY, Drajad  Ruswandono” sedikitnya terdapat 451 perusahaan atau lembaga di DIY yang menghasilkan limbah B3, baik itu padat maupun cair”. Limbah ini dihasilkan dari hamper seluruh jenis usaha, baik itu percetakanm tekstil, industry kulit, logam maupun rumah sakit, dna hal ini diperparah dengan kenyataan bahwa Jogjakarta sebagai salah satu kota besar yang ada di Indonesia belum memiliki instalasi pengolahan limbah B3, sehingga secara berkala Jogjakarta harus mengirim sebagian limbah limbah B3 padat tersebut ke daerah bogor, jawa barat untuk diolah dan untuk limbah cair B3, sampai detik ini masih sulit teridentifikasi jumlahnya, dan ini berpeluang untuk dibuan begitusaja di lingkungan. Dan oleh karena itu maka, perlu adalanya instalasi pengelolaan limbah B3, dimana tujuan pengelolaan limbah B3 berdasarkan Berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 adalah untuk mencegah dan menangulangi pencemaran atau kerusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh limbah B3, serta melakukan pemulihan kualitas lingkungan yang sudah tercemar sehingga sesuai dengan fungsinya kembali.
Indentifikasi limbah Berdasarkan PP No. 18 tahun 1999 adalah pengidentifikasian limbah B3 digolongkan ke dalam 2 (dua) kategori yaitu:

1. Berdasarkan sumber
Golongan limbah B3 yang berdasarkan sumber kemudian dibagi menjadi, limbah B3 dari sumber spesifik, limbah B3 dari sumber tidak spesifik dan llimbah b# dari bahan kimia kadarluarsa, tumpahan, bekas kemasan dan buangan produk yang tidak memenuhi spesifikasi.

2. Berdasarkan karakteristik
Untuk golongan limbah B3 yang berdasarkan karakteristik ditentukan bebrapa indicator yaitu mudah meledak, pengoksidasi, sangat mudah sekali menyala, sangat mudah menyala, mudah menyala, amat sangat beracun  sangat beracun, beracun, berbahaya, korosif, bersifat iritasi, berbahaya bagi lingkungan, karsinogenik, teratogenik, mutagenic.
Hal ini menunjukkan bahwa ternyata pemerintah memberikan sebuah perhatian khusus terhadap pengelolaan lingkungan Indonesia, hanya memang.. dalam ralitasnya implementasi terhadap peraturan yang dibuat. Masih kurang mengena, dan belum dijalankan dengan sunguh sungguh.
Mengingat sangat pentingnnya pengolahan limbah B3, baik itu untuk Jogjakarta dan daerh daerah lainnya yang ada di Indonesia maka perlu mengetahui terkait syarat pengolahan limbah B3. Terkait, pemilihan lokasi, fasilitas pengolahan, penanganan limbah B3 sebelum diolah, pengolahan limbah B3 dan hasil pengolahan limbah B3

1. Lokasi pengolahan.
Pengelolaan limbah B3 dapat dilakukan didalam lokasi penghasil limbah atau diluar lokasi penghasil limbah, asalkan memenuhi persayaratan yang ada. Untuk syarat lokasi pengolahan yang ada di dalam area penghasil limbah B3 harus berada pada daerah yang bebas danjir dan jarak antara instalasi pengolahan dengan fasilitas umum minimum 50 meter. Sedangkan untuk syarat lokasi pengolahan limbah B3 diluar area penghasil limbah B3 adalah lokasi instalasi pengolahan berada pada daerah yang bebas banjir, jarak antara lokasi instalasi pengolahan dan jalan utama minimal 150 meter atau 50 meter untuk jalan lainnya, jarak antara instalais pengolahan dan daerah yang beraktivitas penduduk dan aktivitas umum minimum 300 meter, serta jarak antara instalasi pengolahan dengan wilayah terlindung ( misalnya cagar alam, hutan lindung) minimum 300 m.

2. Fasilitas pengolahan
Fasislitas pengolahan limbah B3 harus menerapkan system oprasional meliputi, system keamanan fasislitas, siste pencegahan terhadap kebakaran, seistem penanggulangan keadaan darurat, system pengujian peralatan dan tentunya pelatihan karyawan. Untuk keseluruhan system  tersebut harus terintegrasi dan menjaid bagian yang tidak terpisahkan dalam pengolahan limbah B3, mengingat jenis limbah yang ditangani adalah limbah yang dakan volume kecil sekalipun akan dapat berdampak besar bagi lingkungan.

3. Penanganan limbah B3 sebelum diolah
Sebelum mengalami pengolahan limbah B3 harus terlebih dahulu diidentifikasi dan dilakukan uji analisis terhdap kandungannya, hal ini guna menetapkan prosedur yang tepat dalam pengolahan limbah B3 dan juga dengan adanya identifikasi ini maka akan dapat ditentukan metode yang tepat terhadap karakteristik dan kandungan limbah B3.

4. Pengolahan limbah B3
Jenis perlakuan terhadap limbah B3 tergantung dari karakteristik dan kandngan limbah. Perlakuan limbah B3 untuk pengolahan  dapat dilakukan dengan berbagai macam proses

  • Proses kimia, meliputi redoks, elektrolisa, netralisasi, pengendapan, stabilisasi, adsorpsi, penukaran ion dan pirolisa.
  • Proses secara fisika, meliputi : pembersihan gas, pemisahan cairan dan penyisihan komponen komponen spesifik dengan metoda kristalisasi, dialisa, osmotic balik dll.
  • Proses stabilisasi/solidifikasi dengan tujuan untuk mengurangi potensi racun dan kandungan limbah B3 dengan cara membatasi daya larut, penyebaran dan daya racun sebelum limbah dibuang ketempat penimbunan akhir.
  • Proses insinerasi yaitu dengan cara melakukan pembakaran materi limbah menggunakan alat khusus incinerator dengan efisiensi pembakara harus mencapai 99,99% atau lebih. Artinya , jika suatu materi limbah B3 ingin di insinerirasi dengan berat 100 kg, maka abu sisa dari proses insinerirasi tidak boleh lebih dari 0,01 kg.

5. Hasil pengolahan limbah B3
Setelah dilakukan pengolahan, sudha barnag tentu kita akan mendapatkan hasil dari pengolahan dan hasil daro pengolahan ini harus ditaruh pada tempat khusus dan dilakukan pemantauan di area tempat pembuangan akhir tersebut dengan jangka waktu 30 tahun setelah pembuangan akhr habis masa pakainya ( ditutup)
#UNTUK KESELURUHAN PROSES PENGELOLAAN, TERMASUK PENGHASIL LIMBAH B3 HARUS MELAPORKAN AKTIVITASNYA KE KLH ( KEMENTRIAN LINGKUNGAN HIDUP) DENGAN PERIODE TRIWULAN ( TIAP 3 BULAN SEKALI)


Sabtu, 15 September 2012

Percobaan IV

-->
Percobaan IV
Tembaga (II) Ammonium Berhidrat dan Tembaga (II)Tetraamin Sulfat Berhidrat
   I.      Tujuan Percobaan

  •   Mempelajari pembuatan Tembaga (II) Ammonium Berhidrat dan Tembaga (II)Tetraamin Sulfat Berhidrat

 II.      Dasar Teori
Tembaga (Cu) merupakan salah satu logam yang paling ringan dan paling aktif. Cu+ mengalami disporpodionasi secara spontan pada keadaan standar (baku). Hal ini bukan berarti senyawa larutan Cu (I) tidak mungkin terbentuk. Untuk menilai dalam keadaan bagaimana Cu (I) dan Cu (II) terbentuk, yaitu membuat (Cu+) cukup banyak pada larutan air, Cu2+ akan berada pada banyak jumlah banyak (sebab konsentrasinya harus sekitar dua juta dikalikan pangkat dua dari Cu+).   Disporpodionasi ini akan menjadi sempurna. Dilain pihak jika Cu+ dijaga sangat rendah (seperti pada zat yang sedikit larut atau ion kompleks mantap). Cu2+ sangat kecil dan tembaga (I) menjadi mantap (Petrucci, 1987 :350)
Tembaga (Cu) adalah logam merah muda yang lunak, dapat ditempa dan liat. Tembaga melebur pada 10380C. karena potensial elektroda standarnya positif (+0,34 V untuk pasangan Cu/ Cu2+), temabag tidak larut dalam asam klorida dan asam solfat encer, meskipun dengan adanya oksigen ia dapat larut sedikit. Asam nitrat yang sedang pekatnya (8M) dengan mudah melarutkan tembaga. (svehla, 1990 :229)
Tembaga membentuk senyawa dengan tingkat oksidasi +1 dan +2, namun hanya tembaga (II) yang stabil dan mendominasi dalam larutannya. Dalam air, hamper semua garam tembaga (II) berwarna biru oleh karena warna ion kompleks koordinasi enam [Cu(H2O)6]2+. Reaaksi Ion Cu2+ dengan OH- pada konsentrasi bergantung pada metodenya. Penambahan ion hidroksida ke dalam larutan tembaga (II) sulfat (0,1 – 0,5 M) secara bertetes dengan kecepatan 1 ml/menit menyebabkan terjadinya endapan gelatin putih biru muda dari garam tembaga (II) hidroksida sulfat, bukan endapan Cu(OH)2   (Sugiarto, 2003 : 569)
Senyawa tembaga bersifat diamagnetic. Tembaga sulit teroksidasi superficial dalam udara kadang menghasilkan lapisan warna hijau hidroksida karbonat dan hidrokso sulfat dan SO2, di atmosfer tembaga mudah larut dalam asam nitrat dan asam sulfat dengan adanya oksigen. Kesetabilan relative kepro dan kepri di artikan dengan potensial Cu*=0,52 V dan Cu+=0,153 V. Kesetabilan Relatif tergantung pada sulfat anion dan ligan yang cukup beragam dengan pelarut/sifat fisik atom tetangganya dalam Kristal. Pelarutan tembaga hidroksida karbonat dan sebagainya dalam asam yang dihasilkan akuo hijau kebiruan yang ditulis [Cu(H2O)6]2+. Di antara berbagai Kristal hidratnya adalah sulfat biru CuSO4.H2Oyang paling lazim. CuSO4.H2O dapat di hidrasi  menjadi zat anhidrat yang berwarna putih. Penambahan ligan menyebabkan kompleks dengan pertukaran molekul air secara beurutan (Syukri, 1999 : 321).
  1. Alat dan Bahan

  • Alat

1.             Gelas Piala 25O ml
2.            Gelas ukur
3.            Corong
4.            Corong Buncher
5.            Batang pengaduk
6.            Kaca arloji

  •   Bahan

1.             CuSO4.5H2O                          4.         (NH4)2SO4
2.            NH4OH                                   5.         Alkohol 95%
3.            Eter                                        6.         Aquadest

  1. Cara Kerja
1.     Tembaga (II) Ammonium Sulfat Hidrat
Ø  Ditimbang masing-masing5 gram CuSO4.5H2O dan (NH4)2SO4
Ø  Dilarutkan dalam 12 ml air panas dalam gelas piala, kemudian ditutup dengan kaca arloji
Ø  Didinginkan, lalu disaringkristal yang terbentuk dan dikeringkan diudara terbukadiatas kertas saring
Ø  Di hitung Rendemen

2.    Tembaga (II) tetra amin Sulfat Hidrat
Ø  Ditimbang 6,25 gram CuSO4.5H2O, dan dihaluskan
Ø  Dilarutkan dengan 6 ml H2O DAN 10 ML NH4OH pekat
Ø  Ditambahkan 10 ml alcohol 95% sedikit demi sedikit
Ø  Didiamkan sebentar, kemudian dinginkan dalam penangas es.
Ø  Endapan disaring
Ø  Endapan dicuci dengan campuran NH4OH pekat dengan alcohol
Ø  Kemudian dicuci dengan alcohol
Ø  Endapan ditimbang, dihitung rendemen


Pertanyaan
1. Apa tujuan pencucian dengan menggunakan eter?
2. Apa jenis garam yang dihasilkan dari percobaan ini ?
3. Bedakan antara garam kompleks dengan garam sederhana ?

jawab :

1. Pencucian di lakukan untuk menghilangkan unsur pengotor, eter digunakan karena pelarut dari garam ini
2. Garam kompleks, percobaan ini menghasilkan garam kompleks Tembaga (II) Ammonium Sulfat Hidrat dan garam kompleks Tembaga(II) Tetra Amin Sulfat Hidrat
3.  Perbedaan
   Garam kompleks : garam-garam yang memiliki ikatan koordinasi (garam yang dapat membentuk ion-ion dan salah satunya ion kompleks). Contoh dari garam kompleks ialah Cu(SO4)2(NH4)2.
    Garam sederhana :  senyawa atau ion positif basa dengan ion negative asam, misalnya natrium klorida (NaCl), ammonium klorida, dan natrium asetat. 

V. Hasil Pengamatan

1. Pembuatan Tembaga (II) ammonium sulfat hidrat CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
  No
Langkah Percobaan
Hasil Pengamatan
     1.
     Ditimbang CuSO4.5H2O dan     (NH4)2SO4
     Massa CuSO4.5H2O = 5,00 gram; kristal berwarna biru muda
     Masa (NH4)2SO4 = 5,00 gram; kristal berwarna putih
     2.
     Dilarutkan dalam 12 ml air panas

     3.
     Kristal disaring, dikeringkan, dan ditimbang
     Warna kristal yang terbentuk = Biru Muda
     Massa kristal yang terbentuk = 6,4913 gram

2. Pembuatan Tembaga (II) tetra amin sulfat hidrat Cu(NH3)4SO4.6H2O
   No
 Langkah Percobaan
 Hasil Pengamatan
     1.
     Ditimbang CuSO4.5H2O
     Massa CuSO4.5H2O = 6,25 gram
     2.
     Dilarutkan dalam H2O
     Warna campuran = Biru Muda
     3.
    Ditambahkan NH4OH, kemudian ditambahkan sedikit demi sedikit alkohol
     Warna larutan = Ungu Tua
Warna endapan = Biru Muda
     4.
    Endapan disaring; dicuci dengan campuran larutan NH4OH dan alkohol
     Warna endapan yang disaring = Biru Tua
     5.
     Endapan yang telah kering ditimbang
     Massa endapan + kertas saring = 5,4280 gram


VI. Perhitungan
1. Pembuatan Tembaga (II) ammonium sulfat hidrat CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
Diketahui :
·         Massa kertas saring     =  0,78 gram
·         Massa kristal total       = 6,4193 gram
·         m CuSO4(NH4)2SO4.6H2O      = massa kristal total – massa kertas saring
= 6,4193 gram – 0,78 gram
= 5,64 gram

·         Massa CuSO4.5H2O    = Massa (NH4)2SO4 = 5 gram
·         BM CuSO4.5H2O       = 249,54 g/mol
·         BM (NH4)2SO4               = 132 g/mol
·         BMCuSO4(NH4)2SO4.6H2O    = 399,54 g/mol

Ditanya  : % rendemen...?
Penyelesaian :
·         Mol CuSO4.5H2O       = 5 g/ 249,54 g/mol = 0,02 mol
·         Mol (NH4)2SO4           = 5 g/ 132 g/mol= 0,03 mol

CuSO4.5H2O   +    (NH4)2SO4          CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
                      m :     0,02 mol                0,03 mol                           -
                      r   :     0,02 mol                0,02 mol                         0,02 mol
                      s   :        -                          0,01 mol                         0,02 mol

·         massaCuSO4(NH4)2SO4.6H2O            = molCuSO4(NH4)2SO4.6H2O x BMCuSO4(NH4)2SO4.6H2O
= 0,02 mol x 399,54 g/mol
= 7,99 gram
·         % rendemen       = (5,64 gram / 7,99 gram) x 100 %
                              =  70,5 %
2. Pembuatan Tembaga (II) tetra amin sulfat hidrat Cu(NH3)4SO4.6H2O
Diketahui :
·         Massa CuSO4.5H2O                   = 6,25 gram
·         Massa endapan total                   = 5,4280 gram
·         Massa Cu(NH3)4SO4.6H2O        = massa endapan  total – massa kertas saring
= 5,4280 gram – 1,55 gram
= 3,878 gram

  • BM CuSO4.5H2O                   = 249,54 g/mol
  • BM Cu(NH3)4SO4.6H2O        =  321,54 g/mol
  •  V NH3 15 N                            = 10 mL

Ditanya  : % rendemen...?
Penyelesaian  :
  • Mol CuSO4.5H2O       = 6,25 g / 249,54 g/mol = 0,025 mol

  • Mol NH3                      = 6,25 g / 321,54 g/mol = 0,015 mol

CuSO4.5 H2O    +       4NH3      →        Cu(NH3)4SO4.6H2O
                        m :     0,025 mol            0,15 mol                         -
r   :      0,025 mol            0,1 mol                        0,025 mol
s  :            -                      0,05 mol                      0,025 mol

  • MassaCu(NH3)4SO4.6H2O    = molCu(NH3)4SO4.6H2O x BMCu(NH3)4SO4.6H2O
= 0,025 mol x 321,54 g/mol
= 8,038 gram
·         % rendemen                = (3, 878 gram / 8,038 gram) x 100 %
= 48,24 %
VII. PEMBAHASAN
Pada praktikum kali ini praktikan melakukan pecobaan tentang Tembaga (II) Ammonium Berhidrat dan Tembaga (II) Tetra Amin Sulfat Berhidrat. Adapun tujuan percobaan ini yaitu untuk mempelajari pembuatan senyawa tersebut. Pada percobaan ini pertama praktikan membuat garam tembaga (II) ammonium sulfat berhidrat. Pada proses pembuatan garam ini, awalnya praktikan mencampurkan serbuk CuSO4.5H2O yang berwarna biru muda dan (NH4)2SO4 yang berwarna biru muda dalam air panas. Air mempunyai momen dipol yang besar dan ditarik baik ke kation maupun anion untuk membentuk ion terhidrasi. Dari sifatnya tersebut maka digunakannya pelarut air karena baik CuSO4.5H2O  maupun (NH4)2SO4 yang bereaksi dapat larut dalam air dan tetap berupa satu spesies ion. Hasil campuran ini membentuk larutan berwarna biru. Pewarnaan biru disini merupakan warna dari ion Cu2+ yang menjadi salah satu komponen pembentuk garam rangkap tersebut. Larutan segera ditutupi dengan kaca arloji sehingga dapat mencegah menguapnya beberapa ion yang diinginkan untuk dapat membentuk kristal monoklin sempurna. Pada percobaan ini didapatkan garam rangkap kupriammonium sulfat berupa kristal monoklin berwarna biru muda seberat 5,64 gram, dengan persen hasil (% rendemen) sebesar 70,5 %. Reaksi yang terjadi dalam pembuatan garam ini yaitu :
CuSO4.5H2O + (NH4)2SO4 → CuSO4(NH4)2SO4.6H2O
Berikutnya praktikan melakukan pembuatan garam tembaga (II) tetra amin sulfat berhidrat. Praktikan melarutkan serbuk CuSO4.5H2O yang berwarna biru dengan menggunakan larutan NH3 pekat yang telah diencerkan dengan aquades, berupa larutan bening. Pencampuran ini dilakukan dalam lemari asam, karena akibat dari pencampuran ini menghasilkan gas yang berbau menyengat yang berasal dari larutan amonia pekat yang digunakan.  Dari hasil campuran ini, terbentuk larutan yang berwarna biru tua. Selanjutnya ke dalam campuran biru tua tersebut ditambahkan alkohol 95 % sedikit demi sedikit, hal ini bertujuan untuk mengurangi energi solvasi ion-ion sehingga pembentukan kristal dapat terjadi lebih sempurna. Praktikan menggunakan alkohol, karena alkohol merupakan pelarut yang baik untuk senyawa ionik, dimana alkohol sendiri memiliki tetapan dielektrik yang rendah. Setelah penambahan ini, campuran didiamkan. Endapan biru tua yang terbentuk kemudian disaring, lalu dicuci dengan campuran amonia pekat dan alkohol, kemudian dengan larutan alkohol. Pencucian dilakukan untuk memurnikan endapan kristal yang terbentuk dari pengotor-pengotor yang tidak diinginkan yang mungkin saja terdapat dalam garam yang terbentuk pada saat dilakukan penyaringan sebagian kristal tersebut ikut terbawa bersama filtrat. Terakhir endapan kristal dikeringkan, kemudian ditimbang. Praktikan memperoleh berat endapan kristal yang terbentuk sebanyak 3,878 gram, dengan persen hasil (% rendemen) sebesar 48,24 %. Reaksi yang terjadi pada saat pembentukan garam kompleks ini adalah:
CuSO4.5H2O+ 4NH3 Cu(NH3)4SO4.5H2O

VIII.  KESIMPULAN
Berdasarkan hasil percobaan diperoleh :

  •     Massa kristal CuSO4(NH4)2SO4.6H2O adalah5,64 gram, kristal berwarna biru muda.

  • % rendemen CuSO4(NH4)2SO4.6H2O adalah 70,5 %.

  • Massa kristal Cu(NH3)4SO4.6H2O adalah 3,878 gram kristal berwarna biru tua.

  • % rendeman Cu(NH3)4SO4.6H2O adalah 48,24 %.


IX. DAFTAR PUSTAKA
Chalid, Sri Yadial. 2011. Penuntun Praktikum Kimia Anorganik. Jakarta : UIN Syarif
                        Hidayatullah.
Day & Underwood. 1999. Analisis Kimia Kuantitatif. Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga.
Harjadi. 1993. Ilmu Kimia Analitik Dasar.Jakarta : PT. Gramedia.